Biru yang Pulang, Biru yang Malang
(Perempuan Penjual Kenangan II)
Kampung itu kembali digegerkan oleh suatu yang tak pernah diminta dan diharapkan oleh penduduknya. Dua tahun lalu, kampung yang begitu adem dan tenteram geger oleh hilangnya seorang gadis cantik, manis, dan saleh tiba-tiba hilang dan tak ada kabar sama sekali. Hari itu gadis tersebut kembali dengan segala kenangan yang telah dibuang dan tak ada lagi risau dan kerisauan dalam dirinya. Ia tumbuh besar dan tetap anggun juga manis. Biru. Ia adalah Biru atau Birrul Waalidain, yang dulu menjadi dambaan setiap kaum Adam di kampung yang damai dan adem tersebut.
Ia melangkah dengan lembut menuju rumah tua yang pernah menjadi tumpuan luka di dadanya. Rumah itu seakan sayu dan berharap ada yang menyapanya. Halamannya yang dipenuhi rerumputan lebat seakan sebuah kenangan yang pernah tumbuh dan gersang di belantara masa lalunya. Pagarnya yang sederhana kini menjadi sarang rayap yang senantiasa menunggu pagar itu rapuh. Biru tertegun di antara halaman dan pintu depan rumahnya. Ia menatap rerumputan yang seakan sebuah lambaian iba padanya. Embusan angin kecil perlahan menggoyahkan matanya yang mulai sayu dan perlahan sembab. Ia masih berdiri. Menunggu pintu itu dibuka. Semakin lama ia semakin berharap pintu terbuka, namun belum juga terbuka.
Ia perlahan menyeka rerumputan yang mulai menyapa kakinya yang masih ragu. Halaman itu serasa sebuah gurun yang gersang dan luas. Pintu yang hanya berjarak beberapa meter seakan sebuah kenangan yang tiba-tiba melintas dalam debar dadanya yang ia empas seketika. Dalam relung doanya ia berharap pintu itu terbuka untuknya. Semakin lama ia berdiri semakin jauh pintu yang ia lihat dan ia harap untuk terbuka untuknya.
Ia pun mulai melangkahkan kakinya meski terasa berat dan penuh debar di dadanya. Pipinya yang lembut mulai basah oleh air mata yang tak pernah ia sadari. Halaman yang penuh rerumputan itu telah dilewati dengan beragam rasa. Pintu itu semakin dekat, dekat sekali namun, belum juga terbuka.
Di dalam ingatannya, pintu itu masih seperti dua tahun lalu saat ia meninggalkannya sebelum fajar membangunkan ayah dan masyarakat di kampungnya. Hanya saja pintu itu terlihat semakin tua dan tak terawat. Biru masih berdiri di depan rumah yang menyimpan beragam kenangan dan juga tempat membuang kenangan itu. Lidahnya seakan kelu dan suara yang ia keluarkan menjadi sengau. Salam yang ia ucapkan seperti tak ada yang mendengar selain dirinya. Beberapa kali ia ucapkan salam dengan suara sengau itu, namun tak ada yang mendengar dan menjawabnya.
Setelah salam kelima ia beranikan diri mengetuk dan membuka pintu itu. Tak ada siapa-siapa di dalam rumah tersebut. Hanya bau kenangan yang tiba-tiba menghantam denyut dadanya. Matanya semakin sembab ketika melihat sekeliling rumahnya tak ada sosok yang ia cari. Ia melangkah pada kursi kusam yang menjadi tempatnya duduk ketika berbicara dan bercerita dengan ayahnya. Kursi itu diam dan ia sentuh dengan pelan seakan menyentuh rindu yang pernah hilang dan tiba-tiba datang. Ia duduk di kursi itu sembari bertanya di mana ayahnya dan kenapa rumah itu seperti tak berpenghuni.
***
Dua tahun lalu seorang lelaki setengah baya diadili dan dihukum oleh masyarakat Kampung Sungai Lingga karena dianggap telah membuat kesalahan yang tak dapat diampuni, yaitu membuat Biru pergi dan hilang dari kampung halamannya. Lelaki itu adalah Anwar, ayah Biru yang tengah ia cari dan ia tunggu di rumahnya. Setelah sebulan Biru pergi, Anwar mulai merasa dadanya begitu sesak dan tak ada lagi dunia di matanya. Biru yang ia besarkan dengan kasih dan sayang telah pergi meninggalkannya entah ke mana. Ia amat menyesal dengan kebohongan yang ditutupi oleh kejujuran pada anak satu-satunya itu. Perlahan napasnya mulai berat. Setiap doa yang ia lafalkan, nama Biru menjadi yang paling banyak ia sebut. Air matanya seperti bendungan air bah yang mampu menenggelamkan segala penyesalan dalam dirinya. Namun, Biru yang ia sebut, Biru yang ia lafalkan dalam doa tak pernah kembali. Hingga akhirnya dalam sujud terakhir pada sore menjelang senja, ia tak mampu lagi memanggil dan melafalkan nama Biru dalam doanya. Ia pergi seperti perginya Biru. Tak ada yang tahu, tak ada yang mengira.
***
Selama dua tahun, Biru pergi meninggalkan rumah dan segala cerita juga kenangan di dalamnya. Ia melangkah tak pernah berhenti hingga suatu hari bertemu dengan seorang lelaki yang menolongnya ketika ia tak sadarkan diri di tepi jalan. Lelaki itu membawanya pulang dan menitipkannya pada ibunya yang baru saja menutup doa siangnya.
Biru yang malang dan tengah membawa kenangan yang perlahan ia buang pada waktu itu, perlahan membuka mata dan ingatannya. Ia sadar telah ada di sebuah rumah yang bukan rumahnya. Kenangan-kenangan itu pun mulai muncul membuatnya ingin pergi lagi dari rumah yang belum ia kenal. Namun, Ghafur lelaki yang menemukannya di tepi jalan menahannya dengan isyarat. “Kamu masih lemah, belum saatnya pergi,” ucapnya dengan lembut. Biru pun membalas isyarat itu dan kembali ke tempat semula ia bangun dan sadar.
Beberapa saat setelah sadar, Biru mulai bercerita pada ibu Ghafur dengan penuh hati-hati. Ia percaya padanya karena melihat keanggunan dan kesalehan pada raut wajahnya. Ia pun mulai menemukan kehidupan baru setelah yang dialami ia ceritakan pada ibu tersebut.
***
Dua tahun Biru berada dan tinggal di rumah itu bersama Ghafur dan ibunya, membuatnya perlahan membuang dan menjahit kembali kenangan-kenangan yang ia alami bersama ayah di kampungnya. Ghafur yang melihat Biru semakin anggun dan manis, dadanya mulai berdesir dan berdebar setiap memandangnya. Meskipun berkali-kali ia telah mengikrarkan diri di depan ibunya, bahwa ia akan menganggap Biru sebagai adiknya sendiri. Namun, layaknya embun pada pagi hari, tak perlu menunggu hujan untuk menjadi basah, ia tetap setia pada dedaunan dan reumputan setiap pagi. Begitupun Ghafur, semakin hari dadanya semakin berdebar tiap kali melihat dan berbicara dengan Biru. Biru pun menyadari itu, namun ia adalah perempuan yang pandai menyembunyikan rasa dan perasaannya.
“Biru, namamu seperti doa yang diam-diam menyusup ke dalam dadaku,” ucap Ghafur suatu hari ketika sedang berada di beranda rumah bersama Biru di dalam hatinya. Biru seakan mendengar debaran kata-kata itu. Wajahnya yang semakin manis membuatnya tak pernah luput melafalkan namanya daam doa. Namun, doa itu tebentur oleh ucapan dan ikrarnya sendiri. Ibunya pun seakan merasakan yang dirasakan Ghafur terhadap Biru.
“Fur, Biru itu gadis baik. Kamu sudah menganggapnya sebagai adik. Biarlah ia menjadi perempuan yang kelak memilih dan memutuskan sendiri pilihannya,” seketika suara itu membuyarkan harapan dan doa Ghafur yang telah lama ia simpan dan ia minta. Ghafur yang tengah melamun tiba-tiba kaget dengan suara lembut itu. Ia heran, kenapa ibunya bisa tahu dan mengetahui apa yang ia rasakan selama ini. Ia pun tersenyum sembari menjawab ucapan ibunya dengan pelan. Biru yang mendengar ucapan itu dari atas sajadahnya hanya tersenyum sembari melanjutkan doanya.
***
“Ibu, Biru ingin pulang,” kata-kata itu menjadi dialog pertama pada pagi menjelang pergantian musim di rumah itu. Setelah dua tahun Biru berada di rumah itu dengan segala risau dan kerisauan yang perlahan pudar, ia memutuskan untuk kembali dan pulang ke kampungnya yang telah lama ia tinggalkan dan tak pernah sekalipun ia memberi kabar. Ia sengaja pergi dan menghilang dari kampung halamannya setelah peristiwa sore di rumahnya. Pagi itu, ia pamit pada Ghafur dan ibunya.
“Biru, kamu yakin mau kembali dan pulang ke rumahmu?” tanya ibunya sembari mengusap kepalanya yang telah ia anggap sebagai anak sendiri. Ia masih melihat risau dan gundah di mata Biru. Di dadanya, Biru masih menanam rindu pada ayah yang telah ditinggalkannya. Ghafur yang mendengar itu seperti akan kehilangan salah satu debar dadanya yang setiap hari ia rasakan. Ia meraba letak jantungnya yang seakan debarannya berkurang. Sebuah rasa dan perasaan yang sengaja ia pendam seakan pudar layaknya buih ombak dihantam angin.
Ia terisak dalam kamarnya. Samar-samar ia dengar percakapan ibunya dengan Biru yang semakin lama semakin membuat debar dadanya berkurang. Biru akan pergi. Ia mungkin tak akan kembali lagi ke rumahnya tapi kembali ke rumahnya. “Biru, kau hilangkan salah satu debar dadaku,” ujarnya dalam lirih.
***
Pada pergantian musim, Biru benar-benar pamit pada Ghafur dan ibunya. Ia berjanji suatu waktu akan kembali ke rumah itu. Ghafur yang tak ingin kehilangan Biru mengantarnya hingga perbatasan kampung halamannya. Biru menolak diantar sampai ke rumahnya setelah beberapa jam di jalan bersama Ghafur dengan beragam cerita. “Biru, semoga kelak akan ada lelaki yang membuatmu menaruh rasa di dadamu,” kata-kata itu Ghafur ucapkan sebelum Biru benar-benar melangkah menuju rumahnya. “Fur, di dunia ini hanya ada dua yang membuatku jatuh cinta. Ayah dan Tuhanku. Jika kau ingin membuatku jatuh hati padamu, jadilah seperti Ayahku atau berbuatlah selayaknya sifat-sifat Tuhan dalam asma-Nya.” Selepas ucapan itu, Biru pamit pada Ghafur. Ia melangkah dengan pelan dan Ghafur pun melangkah pergi. Dua rasa dan perasaan yang tak saling menyatu itu diempas oleh angin siang itu.
***
Biru tersadar dari ingatannya tentang Ghafur dan ibunya saat suara yang pernah kenal memanggil dengan pelan dari luar rumahanya. Suara itu adalah suara Pak Salim, salah seorang yang dihormati di kampungnya. Ia memanggil Biru dengan suara lembutnya dari halaman rumah sebab ia tahu bahwa Biru baru saja pulang.
“Biru, kau kah itu?!” tanyanya sedikit heran ketika melihat Biru semakin anggun dan manis. Biru tersenyum sembari mengangguk dan menyalami tangan Pak Salim. Pak Salim pun meneteskan air mata saat Biru menyalami tangannya.
Biru heran. Pak Salim yang periang tiba-tiba menitikkan air mata di depan Biru. Sebelum sempat Biru bertanya, Pak Salim menceritakan tentang ayah Biru yang sudah lama ia tinggalkan dan meninggalkannya. Ia bercerita bahwa beberapa bulan setelah Biru pergi menghilang, ayahnya mulai terkuras kesehatan dan ingatannya. Tak lama ayahnya pergi meninggalkan Biru dan masyarakat di kampungnya. Biru mendengar itu tiba-tiba seperti hilang dari segala ingatan yang ia bawa selama pulang dari rumah Ghafur. Ia ingin bercerita selama berada di rumah itu, namun ayahnnya telah pergi sebelum cerita itu diceritakan.
Biru yang anggun dan manis tiba-tiba menangis dengan sedu sedan. Ia merasa telah meninggalkan ayahnya dengan penuh sesal. Seharusnya ia memaafkan ayahnya pada waktu itu, namun ia tak mau mendengarkan hatinya yang tengah bergolak. Kini, ayahnya telah pergi sebelum ia pergi lagi dari rumahnya. Biru melihat sekeliling rumahnya yang kian kusam. Pada setiap dindingnya yang pudar, seakan penuh kenangan bersama ayahnya. Ia masih sedu sedan saat beberapa tetangganya berdatangan menyampaikan rasa kasih dan sayangnya padanya. Dan menyampaikan rasa iba padanya karena sudah tidak memiliki siapa-siapa di rumah itu. Biru pun perlahan membuka senyum dan dipeluk oleh beberapa perempuan yang sejak dulu menganggap Biru sebagai anaknya karena ia paling anggun dan saleh di kampungnnya.
Jakarta, 311218
Cerpen ini adalah sekuel dari cerpen Perempuan Penjual Kenangan pada unggahan sebelumnya