Reuni Kata pada Ulang Tahun Komunitas Ranggon Sastra

Pada sore kemarin (Rabu, 22/03/17) saya teringat sebuah puisi karya maestro sastra Indonesia, W.S. Rendra, salah satu lariknya berbunyi seperti ini, “Apa yang bisa dilakukan oleh penyair bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?” puisi ini menjadi salah satu favorit saya untuk dibaca pada setiap kesempatan di panggung berjudul “Pamflet Cinta.”

Petikan puisi di atas seakan mewakili sekelompok seni yang menamakan diri Komunitas Ranggon Sastra (KRS) pada perayaan hari lahirnya di plaza Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta (Unindra). KRS merayakan hari jadinya yang ke-8 dengan mengadakan parade seni, yaitu “Aksi Bela Kata” bertema “Aku dan Kamu tapi Jarang Sekali Kita” dan dirayakan dengan pesta puisi antara lain Pembacaan Puisi, Musikalisasi Puisi, Teaterikal Puisi.

Aksi Bela Kata – 8 tahun Ranggon Sastra (2017) – temanngopimu

Sejak pertama dibuka dengan pembacaan puisi bersama oleh beberapa anggora (sebutan bagi anggota KRS) di beberapa sudut halaman kampus, suasana reuni antara kata yang satu dengan kata yang lain seakan sebuah pesta baru yang tak jarang dimarginalkan oleh sebagian orang atau instansi di atasnya. Puisi-puisi tersebut dilaungkan dengan suara yang penuh amarah, resah, dan risau. Mereka bersahutan dengan puisi yang berbeda dan berakhir di tempat yang sama.

“Aku dan Kamu tapi Jarang Sekali Kita,” diambil dari puisi anggora, Luthfi atau Upi dijadikan tema yang mewakili sastra khususnya puisi yang dirasa mulai dijauhi oleh beberapa pegiat sastra khususnya di Unindra. Aku yang menjadi puisi dan kamu menjad aku (pegiat sastra) tapi jarang bertemu, jarang euforia, dan jarang bercinta menjadi alasan tersendiri bagi anggora sehingga dijadikan sebuah tema utama pada sore itu.

Aksi Bela Kata – 8 tahun Ranggon Sastra (2017) – temanngopimu

Puisi-puisi lain juga menggema bahkan meraung di antara lalu-lalang mahasiswa yang tengah mengikuti perkuliahan dan berhenti senjenak tepat di depan panggung sederhana. Ada puisi sesal, puisi sesap, puisi kemarau, bahkan puisi yang tak jarang enggan untuk disebut puisi. Anggora bergantian membaca puisi dan juga mahasiswa lain yang tak kalah lantang meneriakkan kata di atas panggung dengan puisi yang dibawanya. Mereka meneriakkan sebuah ketimpangan berbagai peristiwa lewat puisi. Mereka meredam amarah diri lewat puisi, bahkan mereka mengamuk dengan puisi.

Sepanjang sore hingga malam, puisi-puisi itu masih mengakarkan kata-katanya pada suara-suara yang tak mau diam. Anggora benar-benar mempertemukan Aku dan Kamu yang jarang sekali bertemu atau menjadi Kita. Mereka mengundang dan menyatukan kata-kata lewat puisi-puisi yang senantiasa bergema dan bergantian. Petikan gitar pun menjadi luapan tersendiri bagi kata-kata yang tak pernah mau berhenti dari teriakan dan laungan para pembacanya.

Hingga malam tak lagi hening, suara-suara semakin menghentakkan gemanya pada puisi yang semakin gamang. Ada yang membawa bunga, ada yang membawa duka, ada yang membawa api lewat puisinya. Malam pun menyerah pada kemenangan anggora yang enggan meninggalkan Aku dan Kamu agar tetap dalam pelukan masing-masing.

Aksi Bela Kata – 8 tahun Ranggon Sastra (2017) – temanngopimu

Pada penghujung puisi yang merasa sepi sebab anggora akan berpamitan padanya, suara musik dan hentakan kaki di atas panggung pun merasa kelu. Mereka tidak mau meninggalkan puisi begitu saja di atas panggung yang seakan sepi tanpa anggora yang meramaikan dengan puisinya. Maka, puisi-puisi pun dilantangkan kembali hingga separuh malam menjadi ladang kata-katanya. Anggora pun tak sudi pada waktu yang seakan mengutuknya. Mereka tetap saja berpuisi sampai puisi-puisi itu letih di antara kata yang masih lantang. Dan pada puisi terakhir, kata-kata berpamitan dengan teriakannya diiringi musik yang perlahan mereda dan meredam hati anggora. Malam dan puisi pun kembali bereuni dalam hati mereka.

Leave a Comment