Segelas Cinta yang Rapuh

Aku masih bersandar pada angin yang sepoi sore itu di teras depan museum Fatahillah Kota Tua. Matahari yang suram seakan menahan rasaku yang pilu dan galau. Semua serasa hampa. Petikan dawai gitar para pengamen menjadi melodi sumbang di telinga. Sesaat aku tersenyum pada anak kecil yang menyuguhkan amplop kecil dan bernyanyi tanpa melodi. Tapi aku tidak terhibur sama sekali dengan semua itu. Lalu-lalang manusia dengan segala jenisnya hanya memenuhi kelopak mataku yang lebam. Aku merasa harus pergi. Tapi peristiwa kemarin masih terekam jelas di memori otakku. Benar kata sebagian orang kalau memori otak tidak sama dengan memori komputer. Tidak mudah di delete apalagi di Recycle Bin. Aku seperti tidak bisa bermimpi lagi karena peristiwa itu. Cowok yang selama ini aku sayang dan aku cinta dengan perlahan meninggalkan dan menghianati perasaanku. Sungguh aku seperti di pantai yang sepi sore itu. Hampa.

***

Hari ini aku sengaja tidak menelepon atau mengirim pesan singkat padanya. Sudah beberapa hari dia tidak ada kabar. Entah. Aku tidak tahu dia pergi kemana atau berbuat apa saja. Bintang. Ia adalah seorang lelaki yang selama ini aku sejajarkan di dalam hati dan jiwaku. Sudah lebih dua belas purnama aku menyatu dengannya. Bermacam hari telah aku jalani bersama. Bertengkar, salah paham, atau kejadian yang menjadi perselisihan kecil dalam hidup kami menjadi bumbu perjalanan cinta kami.

Bintang adalah seorang cowok yang baik. Ia sangat pengertian. Selalu memberikan yang tebaik buat aku. Tapi akhir-akhir ini ia sedikit berubah. Entah apa penyebabnya.

“Aku lagi banyak kerjaan, sayang. Maaf ya, aku sedikit membiarkanmu sendiri tanpa ada aku di sebelah kamu,” itulah jawaban ketika aku bertanya kenapa akhir-akhir ini ia sering tidak ada kabar. Entahlah. Aku hanya bisa berjelaga pada sepi yang setia. Waktu yang kugenggam hanya terisi dengan hampa dan hampa. Benarkah ia demikian? Atau dia hanya mencari alasan agar aku tidak memarahinya. Ah, segera saja perasaan ini aku buang jauh dari pikirannku karena aku yakin ia tetap Bintang yang aku kenal sejak dulu.

“Bintang, aku sangat merindukanmu,” kata itu keluar begitu saja dari bibir mungilku tanpa ada yang mendengarnya. Mungkin hanya angin, yah, angin yang menyapaku di sepanjang terik matahari di depan rumahku. Aku memandangi kupu-kupu yang beterbangan di atas bunga-bunga di halaman. Mereka bahagia sekali. Lekuk sinar matahari seakan istana yang menjadi tempat mereka berkejaran satu sama lain. Mereka seakan mengerti tentang bunga-bunga yang rindu akan hinggapan mereka. Aku hanya tersenyum menyaksikan keriangan mereka.

“Aku seperti bunga itu. Bunga yang merindukan hinggapan kupu-kupu. Seperti aku yang merindukan kekasihku, Bintang,” ucapku dalam hati.

Aku tidak sadar bahwa di sebelahku sudah duduk seorang lelaki yang sangat kukenal suara dan khas bicaranya yang lembut. Bintang. Tanpa sadar ia telah duduk di sebelahku. Mungkinkah dia membawa rindu yang selama ini kugenggam jauh. Atau hanya sekedar meminta maaf dan pergi lagi. Aku bimbang di hadapannya.

“Shena, sayang. Maafin aku ya, karena sering membiarkanmu sendiri. Aku tahu perasaan kamu,” itulah ucapnya yang menjadi pembuka rindu yang kutaruh di jiwaku.

“Ia, Bintang. Aku ngerti kok,” hanya kalimat itulah yang mampu menggerakkan bibirku di depan Bintang, kekasihku. Mungkin aku terlalu larut dalam rindu hingga aku hanya berdialog dengan diam. Sedikit canda dan tawa menghiasi sedetak rindu yang perlahan pudar di mataku. Aku tersenyum dan tertawa. Bintang menemani sepiku sejenak lalu ia pamit setalah ada orang meneleponnya. Entahlah, tak ada curiga dalam rasaku. Hanya rasa haru sejenak dan hilang bersama hilangnya Bintang di telapak mataku.

***

Satu purnama Bintang tak ada kabar lagi. Ia hilang entah kemana. Aku hanya bersabar menunggu kabar dan senyum darinya. Aku telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari* . dialaogku hanya diam dan sunyi.

Ketika hari telah senja aku hanya berucap pada matahari yang menemani sepiku. Bintang, kekasihku semoga baik-baik saja. Aku tidak mau dia terganggu dengan keberadaanku yang setia menunggu. Aku percaya bahwa dia memang sibuk dengan pekerjaannya yang tempo hari ia ceritakan padaku.

Hari sudah malam. Aku menuggu kabar sembari menyeka bintang yang bertebaran di langit rumahku. Tapi hingga separuh malam tak kunjung ada kabar darinya. Ini sudah lebih satu purnama aku selalu menunggu. Aku putuskan saja untuk mengakhiri malam ini dengan segudang pilu.

“Tuhan, tegarkan jiwaku menghadapi semua ini. Aku sangat mencintainya,” kata terakhirku sebelum aku larut dalam mimpi. Dalam lelap aku bermimpi. Bintang membawa setangkai bunga mawar tapi bukan untukku. Ia hanya berkata bahwa bunga itu untuk belahan jiwanya. Sejanak aku terbangun dengan mimpi itu. Belahan jiwa. Bukankah aku belahan jiwanya kenapa bunga itu tidak ia berikan padaku?

***

Pagi ini matahari tidak menjamahku dengan mesranya. Seperti pagi yang berlalu. Aku duduk di beranda dan merenungi mimpi yang seakan nyata dalam hidupku. Aku gelisah. Galau. Risau. Sampai pagi ini Bintang belum juga memberiku kabar. Aku mencoba mengirim pesan pada handphone-nya namun tiada juga balasan. Sesibuk itukah dia hingga memberiku kabar saja tidak sempat. Aku hanya memandangi matahari yang kian meninggi. Dedaunan mulai enggan menyeka embun yang telah menemani semalam. Ia mulai berjatuhan dan hilang di telan dinginnya angin.

“Bintang, seperti embunkah dirimu, yang hanya singgah di dedaunan lalu hilang di pagi hari,” aku hanya berucap pada sepi yang masih setia menemaniku.

Aku termenung. Mendengar kicauan burung yang seperti nyanyian pagi. Tiba-tiba saja sesosok lelaki muncul dari balik pagar kecil rumahku. Sejenak aku memandang. Bintang. Ia, Bintang. Aku terlonjak ria. Akankah dia membawa rindu yang lama menepi di hariku. Aku menyambutnya dengan senyuman yang manis sekali.

“Shena, aku mau minta maaf sama kamu. Aku tahu ini sangat menyakitakan buat kamu tapi mau gimana lagi hati tidak bisa dipaksakan,” ucapnya dengan nada sayu dan tersendat-sendat.

“Bintang, kamu ngomong apa aku nggak ngerti.”

“Shena, aku, aku mencintai perempuan lain, aku…”

Deg… mendengar ucapannya aku langsung kaku. Aku tidak lagi melihat matahari di langitku. Dengan panjang lebar Bintang menjelaskan tapi aku tidak mendengarnya. Aku hanya menyeka pipiku yang tiba-tiba basah oleh air mataku.

Inikah mimpi yang semalam menjadi bunga di tidurku? Aku tidak percaya. Bintang telah menghianatiku. Menghianati segalanya. Mungkinkah? Aku masih ragu dengan keadannku saat ini. Tapi kulihat Bintang serius dalam bicaranya. Ia hanya minta maaf dan pergi begitu saja.

Semudah inikah ragaku remuk. Rindu yang kudekap erat kini menjadi belati yang menyakitkan. Menjadi panah yang membuatku rapuh. Bintang telah pergi. Aku hanya menyeka pipiku tapi tidak jiwaku. Ia sama sekali tak dapat aku menyekanya. Cinta yang kudekap dengan rasa setia kini berubah menjadi lautan keruh yang menakutkan. Aku menangis dan menangis. Ternyata selami ini aku hanya setia dengan perasaanku saja. Tapi Bintang? Ia telah terlalu memanah rasa setiaku. Aku remuk. Pagi yang kurasa seperti malam yang gulita.

Bintang, setega itukah kau mengkhianati rasaku dan rasa kita?”

Tak ada lagi jiwa yang bersandar di ragaku. Aku seperti kosong dan air mata tiada henti menelusuri lekuk pipiku. Inikah balasan dari semua kesetiaanku selama ini? Inikah balasan dari semua rindu yang selalu kudekap dalam hariku? Tuhan, bawa saja aku dari dunia ini.

Jakarta, 231012

* petikan puisi Kahlil Gibran

Leave a Comment