Sebuah Ideologi Puitik, Seperti Secangkir Kopi yang Penuh Tafsir
Mambaca dan menyelami sebuah puisi seperti menyelami bawah laut yang penuh misteri. Meskipun keindahannya seringkali diceritakan namun, akan menjadi sebuah pertanyaan dan keraguan untuk mencoba terjun ke dalamnya. Itulah puisi. Puisi seperti napas yang tidak pernah lelah. Seperti bunga dandelion yang selalu tumbuh dan berkembang di setiap tempat yang ia hinggapi. Juga seperti cinta yang selalu pekat ketika dibicarakan, tetapi tidak ketika dinikmati.
Setelah membaca dan menyelami buku ini, saya merasa ada di antara lorong yang selalu ingin ke tempat pertama kali melaluinya, namum selalu berhenti di tengah-tengahnya. Jalannya berliku, namun tidak terjal. Di tepinya ada kerikil-kerikil yang hanya menjadi bumbu lorong-lorong tersebut dan tidak membuat mata kesandung. Ada jejak yang rapuh, ada dengus napas yang lelah, ada juga rasa yang menjadi sebuah obrolan malam pada sepinya.
Puisi-puisi yang terdapat di dalam “Labirin Warna” ini memberi sebuah kepastian yang meragukan, namun tidak membimbangkan. Kepastian yang saya temukan adalah beberapa puisi yang berbicara tentang rasa yang begitu dalam. Membuat pembaca yang lain barangkali bertanya-tanya apa dan mengapa sebuah rasa menjadi sebuah ideologi yang sangat indah. Namun, ada juga rasa yang gamang, galau bahkan bimbang. Keraguan yang saya temukan adalah beberapa puisi yang masih mencari jati diri dengan mimpinya. Menyampur adukkan sebuah fiktif dengan mimpi yang hanya menyisakan sebuah pesimisme yang dalam. Tapi tetap membubuhkan keindahan ideologi yang mengandung nilai filosofi sehingga sebuah keraguan tersebut menjadi timpang jika mengaji lebih dalam.
Puisi-puisi yang terdapat di dalam “Labirin Warna” ini seperti secangkir kopi. Secangkir kopi akan memiliki rasa berbeda ketika yang meneguknya tidak hanya seorang. Ada yang mengatakan, kopi ini rasanya biasa-biasa saja, ada yang berkata, kopi ini terlalau manis, ada juga yang berkomentar, kopi ini perlu ditambah gula, bahkan ada mungkin yang berkomentar, kopi ini harus segera diteguk agar hangatnya tidak hilang kerena di situlah letak kenikmatan kopi ini. Yah, begitulah puisi-puisi yang terdapat di dalam buku “Labirin Warna” ini. Seperti kopi yang selalu membuat kita ketagihan untuk meneguknya bahkan sampai tetes terakhir. Dan ingin meneguknya kembali dengan seduhan yang baru.
Buku ini memberi warna baru dengan tema yang beragam dan tidak mengikat. Keindahannya seperti burung cantik yang digambarkan oleh Kahlil Gibran di dalam puisinya, bahwa ia mau ditangkap tetapi menolak untuk disakiti. Itulah puisi.
Jakarta, 030215
Resensi Buku Kumpulan Puisi “Labirin Warna”
Penerbit Pustaka Ranggon, Jakarta
Januari 2015