Perempuan yang Bermain Biola

Seperti malam-malam yang biasa. Aku selalu bermalam dengan segelas kopi. Yang kuteguk perlahan di antara bisingnya jalanan. Dan di bawah kerlip bintang yang semu. Ada kalanya hujan menjadi kata yang bergerak. Dan singgah di beberapa lembar buku yang selalu kukepit. Terkadang, dingin juga menjadi lenguhan tubuh. Yang meronda di bawah desir angin. Namun, aku masih meneguk kopi yang sedari tadi setia. Tanpa kata yang kueja. Menjadi puisi yang parau. Sebab, malam telah menjadi kata yang membujukku menjadi gemercik rindu.
***
Malam itu tidak seperti malam yang biasa. Aku mencoba mengaduknya dengan rasa yang berwarna. Duduk di atas kursi yang begitu empuk. Di depanku, ada segelas kopi yang aromanya seperti malam yang syahdu. Aku menikmatinya dengan alunan musik yang selayaknya kopi yang kuteguk. Tetapi bukan di tempat biasa. Aku duduk di sebuah kafe yang penuh dengan rasa. Entah apa yang membuatku duduk di tempat ini, tetapi aku menikmatinya.
Perlahan musik di kafe itu menyentuh bagian dalam dadaku. Sendu. Dan seperti laju malam yang bisu. Aku masih duduk dengan sebuah buku dan segelas kopi yang masih hangat. Di luar, aku melihat gerimis mulai menjadi melodi di antara derap langkah kaki yang berbeda. Aku menatapnya dengan hening. Sebab, musik yang kudengar seperti desir angin yang berdansa dengan percikan gerimis di luar sana.
Namun, aku terperangah oleh suara musik yang berbeda. Ada nada melengking namun indah dan sangat kukenal. Suara itu berasal dari panggung musik di kafe tempat aku bermesra dengan kopi. Suara yang sangat kuhafal dan selalu ingin mendengarkannya. Setiap ada orang memainkan musik itu, aku selalu terbawa dan terpukau untuk menikmatinya. Dan malam itu aku mendengarkannya. Entah siapa yang memainkan aku belum melihat karena lalu-lalang pengunjung kafe itu begitu ramai. Aku beranjak dari kursiku yang hanya diam. Berjalan perlahan di antara mata yang telanjang. Tujuanku satu. Untuk melihat siapa yang bermain musik yang sangat aku menyukainya. Biola. Yeah, alat musik itu yang membuatku berjejal dengan beberapa napas dan dengusnya. Aku duduk di antara kursi yang berdekatan dengan panggung kafe itu. Dan aku terpesona, terbuai, dan terperangah juga terperanjat. Melihat sosok perempuan dengan sebuah biola yang dimainkannya. Mataku tidak hanya berkaca-kaca, tetapi berdenyar seperti bongkahan lazuardi pada malam hari. Aku menatapnya dengan mata yang asing. Seorang perempuan yang sangat manis bermain biola dengan sangat indah. Seperti puisi.
Aku masih duduk di kursi yang sama. Menikmati desir angin dan lengkingan biola yang begitu manis, seperti yang memainkannya. Tanpa sadar malam telah menjadi waktu yang mengajakku pulang. Aku masih ingin menikmati pesonanya. Namun, ada yang berbisik padaku seakan menyuruhku menyeruput sisa kopiku di atas meja. Dan aku tidak melihatnya lagi di atas panggung setelah kuhabiskan tetes terakhir. Entahlah, barangkali ia telah kembali ke belakang panggung atau ke mana aku tidak tahu. Yang aku ingat, ia sangat manis dan membuatku ingin membunuh malam agar aku dapat terus menatapnya dengan biolanya.
***
Malam berikutnya, aku berjalan di trotoar yang tidak sepi. Menemani gerimis yang seakan mengajakku ke tempat yang sama seperti malam sebelumnya. Tetapi, sejenak aku terkejut. Melihat seorang perempuan menenteng sebuah biola menuju tempat yang akan aku singgahi. Aku mencoba berlari mengejarnya di antara resapan gerimis yang mulai mereda. Hanya saja, ia telah menyeberang jalan dan hilang ditelan mataku yang mengabur.
Aku berjalan perlahan menuju kafe yang sama. Tujuanku tidak sama seperti malam yang biasa. Jika malam sebelumnya aku hanya ingin meneguk manisnya kopi, tetapi malam itu tidak. Aku ingin melihat dan meresapi lengkingan manis biola dan perempuan manis yang memainkannya.
Ada degupan yang berbeda di antara ruang di dadaku ketika berdiri di depan kafe yang aku tuju. Degupan itu seakan dentuman malam yang semakin hening. Dan menjadi detak yang membuatku berdiri sejenak sebelum masuk ke ruangan sendu yang telah ramai dengan penikmat musik dan kopi. Aku enggan untuk terburu-buru masuk. Sebab aku tidak ingin kopiku habis sebelum menikmati lengkingan biola dan yang memainkannya.
Dengan gontai aku memasuki kafe itu dan memilih kursi yang berdekatan dengan panggung. Aku sengaja memilih kursi itu agar aku dapat menatapnya lebih dekat dan lebih lama. Beberapa teguk telah kureguk, tetapi perempuan manis itu belum kulihat di atas panggung. Aku meneguknya kembali dan mencoba menikmati musik tanpa lengkingan biola yang kutunggu.
Hanya tersisa beberapa teguk lagi aku masih belum melihat yang kutunggu. Sementara beberapa pengunjung sudah mulai beranjak menyisakan kursi-kursi bisu dan aroma malam yang lengang. Aku masih setia dengan malam yang mulai mengusikku. Dan pada tegukan terakhir, mataku berbinar kembali. Sebab, aku melihat seorang perempuan tengah naik panggung dan memainkan biola yang dibawanya.
Aku tidak hanya terbuai, tetapi lebih dari itu. Ia begitu manis. Aku melihatnya dari tempat yang begitu dekat. Tetapi, hanya satu lagu yang ia mainkan, sebab ia turun kembali dan langsung menghilang entah ke mana. Aku mencoba mengejarnya, tetapi ia sudah tidak ada. Ah, betapa aku ingin tahu siapa garangan nama perempuan itu. Apakah ia bernama Senja, atau bernama Syahdu seperti lengkingan biola yang dimainkannya. Ah…
***
Aku mencoba mengingat lekukan wajahnya ketika pagi menjadi puisi. Menulis di dalam lembaran daun yang berjatuhan di antara remangnya matahari. Betapa, aku telah hafal lekukan alis dan bias matanya yang teduh. Jarinya yang lentik dan rupanya yang manis. Aku telah menghafalnya. Aku menulis namanya yang aku ciptakan sendiri, sebab aku belum tahu siapa namanya.
Dua malam aku melihatnya dengan degupan dada yang berdesir. Dan dengan mata yang berdenyar. Hingga malam kembali, aku bersiap diri menjadi aku yang akan menemui perempuan manis dengan biolanya. Aku akan mengajaknya bermain biola dan membacakan puisi untuknya. Hingga malam menjadi lagu yang cemburu pada kedipan matanya, pada lengkingan biolanya, juga pada manisnya.
Malam telah menjadi candu bagi mataku. Sebelum malam, senja seakan sebuah drama hari yang selalu membuat orang berdecak ingin menikmatinya sejenak, lalu hilang. Dan aku tidak menikmatinya, sebab malam telah mengubahnya menjadi senja yang berbeda. Warnanya lahir dari kedipan mata yang kutunggu di sebuah kafe, tempatku meneguk tetes demi tetes kopi dan lagu di antara desahan malam yang mulai meredup.
Pada malam yang sama aku berjalan di trotoar dengan beberapa derap kaki yang melaju dengan perlahan. Malam itu tidak gerimis. Tetapi aku menginginkan gerimis itu datang menjadi irama yang menemani dinginnya tubuhku. Aku tetap berjalan gontai dengan rasa yang membadai. Sebab, aku tidak hanya ingin melihat perempuan itu bermain biola, tetapi aku akan menemuinya dan mengajaknya membunuh malam agar ia tidak berubah menjadi pagi.
Di kafe itu aku duduk tanpa segelas kopi. Aku sengaja tidak memesannya hingga yang kutunggu datang dan memainkan biolanya. Namun, malam mulai gelisah, sebab aku membuatnya menjadi resah oleh keresahanku yang mulai menjadi tandu. Perempuan yang kutunggu tidak kunjung datang. Aku tetap duduk setia meski tanpa segelas kopi di mejaku. Malam semakin gamang. Aku pun mulai tergoda untuk mencumbui kegamangannya. Hingga satu persatu pengunjung yang dari tadi duduk manis mulai beranjak menyisakan sunyi di beberapa kursi yang mereka tempati. Mataku semakin tajam menyusuri runcingnya malam yang semakin sendu. Aku beranjak menemui penjaga kafe dan bertanya perihal perempuan yang kutunggu.
Aku terkesima dan tidak percaya dengan jawabannya. Ia seakan menganggapku gila. Sebab, katanya tidak ada pemain biola di kafe tersebut dan tidak ada pemusik perempuan selam ia berjaga. Aku tidak percaya. Aku memaksanya untuk memberitahuku namun, ia mengusirku dengan memanggil bantuan petugas lainnya. Aku diusir dan dikeluarkan dari kafe itu. Aku masih tidak percaya. Aku mencoba bertanya pada seorang pengunjung yang juga setiap malam mengunjungi kafe itu. Dan apa jawabnya? Ia juga menjawab sama dengan petugas yang aku tanya tadi.
Ah… Apakah aku hanya berkhayal ketika aku meneguk kopi di kafe itu? Tetapi aku sadar aku melihat perempuan bermain biola di atas panggung malam itu. Ia begitu manis. Wajahnya tidak seperti purnama, tetapi seperti, ah… aku tidak ingin menyamakannya dengan apa pun. Tapi aku harus mencarinya ke mana. Sedang di kafe itu sudah tidak kutemukan lagi perempuan itu.
Aku mulai linglung. Badanku seakan mengikuti desir angin dengan sepoinya. Dan di tengah jalan aku seakan melihat sosok yang aku cari. Tetapi hanya sejenak, sebab ia telah menjadi malam setelah aku melihatnya lagi dengan mata yang tajam. Lalu, aku mengejarnya tanpa arah, tetapi tetap tak ada. Aku bertekad akan tetap mencari. Barangkali ia akan kutemukan di tempat yang berbeda. Aku akan mencarinya. Mencari perempuan dengan biola yang dimainkannya. Sampai malam tak lagi menjadi pagi.

Jakarta, 290515

Leave a Comment