Perempuan yang Bermain Biola (2)

Baiklah, aku memutuskan untuk pergi ke Bandung. Demi mewujudkan rasa dan perasaan penasaranku pada sebuah pertemuan yang semua orang anggap hanya khayalan. Khayalan tentang seorang perempuan yang tengah bermain bioala di suatu kafe di Jakarta tempo lalu. Aku akan buktikan pada orang-orang yang mencibirku dan mengatakan aku gila di kafe waktu itu. Bahwa, perempuan itu ada dan benar-benar ada. Buktinya, beberapa hari lalu, iya beberapa hari lalu aku melihat perempuan itu dengan biolanya sedang diwawancarai di sebuah televisi, ia akan menggelar konser tunggal di Bandung, katanya. Dan kamu tahu? Ia punya nama yang manis, seperti orangnya. Diella. Yah, Diella namanya.

***

Pagi ini adalah pagi yang tak biasa. Sebeb, sebelum matahari merenggut pagi, aku sudah duduk santai di kursi panjang tempat biasa aku memotret lalu-lalang kehidupan. Kursi yang selalu menjadi tandu bagi setiap orang yang tengah menunggu rindu mejemputnya. Stasiun. Pagi itu aku duduk di kursi panjang di tepi rel di stasiun Gambir. Aku bertekad pergi ke Bandung demi memastikan dan bertemu dengan perempuan yang pernah kukejar di kafe malam itu.

Malam itu, aku duduk di sebuah kafe dengan buku dan kopi. Tiba-tiba dari panggung terdengar bunyi musik yang paling khas dan sangat aku suka, yaitu biola. Perempuan itu manis sekali. Seperti bunyi yang keluar dari biola yang dimainkannya. Beberapa malam aku melihat dan menyaksikan perempuan manis itu. Hingga malam-malam berikutnya, aku pun tak melewati malam tanpa menunggu perempuan di kafe itu. Perempuan yang pernah kuberi nama Senja, sebelum aku tahu nama sebenarnya.

Aku masih duduk melampaui khayalan di kursi itu. Matahari masih membendung mimpinya di pelukan pagi yang buta. Dan kereta api KA Parahyangan (KA 20) tujuan Bandung sudah menunggu setiap penumpang di jalur tiga pagi ini. Aku beranjak sembari mengapit buku dan menggendong ranselku yang selalu menjadi teman perjalananku.

KA Parahyangan perlahan berlalu meninggalkan bayangan Jakarta di antara warna emas matahari pagi. Deru relnya seakan alunan lagu menyambut pagi lewat jendela kereta yang tersingkap tirainya. Aku menikmati bait demi bait bias matahari yang seakan mengeja setiap mimpi yang hinggap pada wajahku. Buku yang kukepit perlahan menjadi teman lusuh dengan setiap keangkuhan tiap babnya. Aku melahap perlahan setiap rentetan kata yang terdapat dalam buku itu.

***

Stasiun pertama telah berlalu tanpa matahari, sebab masih menunggu mata membuka dan membangunkannya. Perlahan aku ingat kembali wajah perempuan yang telah kuketahui namanya. Lewat sebuah wawancara singkat dan singkat juga aku lihat wajahnya di televisi, nama itu, hanya sebentar tayang dan aku langsung mencatatnya. Aku ingat kelihaiannya bermain biola malam itu. Wajahnya benar-benar manis. Tak salah jika waktu itu aku beri nama Senja. Sebab wajahnya manis seperti senja.

Matahari mulai memamerkan keangkuhannya saat kereta berhenti sejenak di stasiun Purwakarta. Aku sedikit menahan kantuk saat tiba di stasiun itu. Tetapi sekelebat aku melihat sosok perempuan lewat jendela kereta. Ia berjalan dengan jaket hitam panjang hingga lututnya di tepi rel. Sontak aku berdiri dan berlari ke pintu untuk melihat perempuan itu. Tubuhnya sama dengan perempuan yang aku lihat di kafe malam itu. Ia juga menenteng biola. Aku berlari ke pintu, melihat tempat perempuan berdiri tadi. Namun, aku hanya terbawa khayalan pagi itu. Di sana tidak ada siapa-siapa. Penumpang yang menunggu kereta telah naik semua. Aku hanya mengembuskan napas kosong dan kembali ke kursi tempatku duduk.

Di kursi itu, aku duduk kembali dan membuka buku yang kubawa. Aku tidak lagi bisa membaca buku itu. Pikiranku kacau karena peristiwa di stasiun tadi. Dari jendela, aku benar-benar melihat perempuan yang kutahu bernama Diella membawa biolanya. “Apa mungkin itu hanya khayalan?” pikirku. “ah, tidak. Aku benar-benar sadar saat aku melihat sosok itu tadi,” lanjutku dalam hati. Aku mencoba memejamkan mata, berharap bisa tidur tetapi tidak. Aku hanya berkhayal dan memikirkan perempuan itu. Aku yakin, nanti sore sebelum konser tunggalnya digelar, aku akan datang ke rumahnya. Aku sudah cari alamat rumahnya dan sudah kusimpan dalam catatanku.

“Diella, kamu benar-benar nyata,” gumam hatiku. Nanti akan aku foto lalu akan kembali ke kafe tempat melihat dan menyaksikanmu dulu. Akan kutunjukkan pada orang-orang di sana yang dulu mengatakan aku gila. Akan kukatakana pada meraka bahwa kamu benar-benar ada dan benar-benar manis, Diella.

Aku duduk memandangi keindahan kota Bandung yang mulai terlihat perlahan. Sebentar lagi aku akan tiba di kotamu, Diella. Hatiku tak henti-hentinya bergumam. Terkadang aku tersenyum sendiri sembari memandang ke luar jendela. Aku membayangkan alisnya yang sabit, bibirnya yang ranum, dan wajahnya yang manis. Semua aku lihat dan bayangkan sejak pertama melihat dirimu di kafe.

Bayangannya perlahan pudar saat KA Parahyangan yang aku naiki tiba di stasiun Bandung. Penumpang perlahan turun dan aku masih duduk dan berkhayal di kursiku. Dalam khayal aku melihat seorang perempuang membawa biola turun dari kereta lalu menoleh sebentar dan pergi. Aku kaget saat petugas kereta membuyarkan khayalanku dan memberi tahu bahwa beberapa saat lagi kereta akan dibersihkan. Aku beranjak perlahan dan mengapit bukuku juga ransel yang tak pernah lupa kubawa. Aku berjalan gontai menyusuri tepi rel di stasiun itu. Hari masih pagi. Matahari baru saja mengeringkan embun yang bersemadi di antara daun-daun basah dan kering. Aku menghela napas panjang dan keluar dari stasiun. Sejenak, aku melihat sosok Diella berjalan di seberang jalan dengan biolanya. Sontak aku berlari menyeberangi jalan mengejar sosok itu. Tapi, lagi-lagi aku tak dapat mengejarnya. Aku bertanya pada beberapa orang di pinggir jalan itu, tapi orang-orang menjawab tidak tahu dan tidak melihat sosok perempuan itu.

Aku berjalan menyusuri trotoar bisu. Menyeberangi jembatan dan duduk di kursi di pinggir jalan ketika lelah. Aku sedikit asing dengan kota ini, sebab aku hanya beberapa kali ke kota ini. Hanya hari ini aku nekad tanpa rencana mendatangi kota ini. Hanya untuk menemui seorang perempuan manis yang selalu membawa biola dan memainkannya dengan manis. Seperti orangnya.

***

Bandung mulai siang. Aku masih berjalan santai di jalan yang sedari pagi masih di jalan itu. Tidak jauh dari stasiun aku mampir di sebuah warung kopi sederhana dan menikmati siang di sana. Pada pemilik warung, aku tanyakan alamat yang kutulis dalam buku catatanku. Katanya, alamat ini tidak terlalu jauh, namun juga tidak terlalu dekat. Sekitar setengah jam perjalanan menggunakan jasa angkutan umum. Aku lega mendengar jawaban pemilik warung itu. Pikirku, aku akan tiba sebelum senja di rumah Diella, perempuan yang bermain biola.

Aku keluar dari warung kopi sembari menikmati matahari yang tetap sendu. Siang mulai beranjak pada sore dan aku langsung menuju alamat yang kubawa dan kucatat dengan angkutan umum. Di luar, terik matahari semakin sendu di setiap tubuh yang berjalan maupun diam. Kota ini indah dan sejuk meski matahari sedikit terik. Aku merasakan kesejukan itu di dalam bus yang membawaku. Bayangan perempuan itu pun mulai bermunculan di hadapanku. Ia seakan duduk di kursi lalu memainkan biolanya. Aku menyaksikan dan mendengarkan lengkingannya sembari tersenyum sendiri. Ia pun tersenyum sembari melanjutkan gesekan dawainya. Aku benar-benar takjub pada parasnya yang benar-benar manis, dan lengkingan biolanya yang lebih dari indah. Kahayalanku buyar ketika bus yang membawaku tiba di tempat tujuanku. Aku turun perlahan dan menatap matahari yang mulai sore.

Sekelilingku, lalu-lalang kendaraan yang melaju dan deru knalpot juga dering klakson beradu. Aku membuka catatanku, mencari nomor rumah di jalan itu. Sengaja aku tidak menggunakan peta yang terdapat dalam ponsel, aku ingin mencarinya sembari menikmati sore. Dengan lankah gontai kutelusuri jalan itu. Jalan yang sudah mulai lengang oleh sore. Itu artinya, senja akan segera turun di kota itu, pikirku. “Berarti, aku akan menemuimu saat senja sedang merah-merahnya, Diella,” gumamku.

***

Senja perlahan turun. Matahari memasrahkan diri pada langit sore. Aku masih berjalan santai menuju rumah yang telah kutemukan nomornya. Rumah di Jl. Pasirkaliki No. 25-27. Rumah itu sunyi, hanya pagar sederhana tanpa penjaga di dalamnya. Aku pencet bel di samping pagar itu, satu hingga tiga kali. Dengan sabar aku menunggu seseorang keluar dari rumah itu. Tiba-tiba dadaku berdegup dan berdebar kencang melihat pintu perlahan dibuka. Aku seakan tidak sabar menunggu siapa yang membuka pintu itu. Mataku tidak berkedip saat melihat sesosok perempuan membuka pintu dan berjalan menuju pagar, tempatku berdiri di depannya. Aku melihat jelas perempuan itu adalah kamu, Diella.

Ia bejalan pelan melewati halaman kecil menuju pagar. Aku tidak sabar melambaikan tangan dan memanggil namamu, nama perempuan yang bermain dan selalu bermain biola. Ia tetap berjalan santai, dan tiba di belakang pagar. “Diella. Kamu Diella, kan?! Perempuan yang bermain biola malam itu di kafe di Jakarta,” tanyaku tidak sabar. Ia menatapku seakan bingung dengan pertanyaanku. “Maaf, Akang cari siapa, yah?” tanyanya penuh kebingungan. Aku masih memaksakan diri meyakinkan dirinya, bahwa ia adalah kamu Diella. “Ini rumah Diella, kan?!” tanyaku lagi tanpa menyadari wajah perempuan itu perlahan berubah. “Di sini tidak ada yang namanya, Diella, Kang,” jawabnya singkat dan lembut. Aku tidak percaya. Aku bertanya lagi dan bertanya lagi sampai ia yakin dan meyakinkanku. “Maaf, Kang. Tidak ada nama Diella di sini. Memang benar, empat tahun lalu di sini tinggal seorang perempuan guru biola. Tapi sekarang perempuan itu sudah pindah ke Eropa ikut suaminya dan melanjutkan kuliahnya di sana. Dan tak ada konser biola di Bandung malam ini, seperti yang diceritakan Akang tadi,” jelas perempuan itu dengan rinci. Aku terkulai seketika. Jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk bertemu seorang perempuan yang telah lama lahir dan hadir dalam khayalku.

Senja waktu itu seperti berubah menjadi sore yang sama sekali tidak ada keindahan pada warnanya. Semua berubah menjadi warna yang pudar seperti harapanku sore itu. Aku seperti seorang yang hilang ingatan tentang senja, juga tentang warna emasnya yang begitu indah. Tetapi aku tidak lupa akan wajah seorang perempuan yang bermain biola dalam khayalanku. Aku yakin ia benar-benar ada. Di kota ini. Sebab, aku telah membaca beberapa info tentang seorang perempuan pemain biola lengkap dengan ciri wajahnya yang manis. Perempuan itu ada di kota ini. Tapi entah di jalan dan nomor berapa ia tinggal.

Senja itu, aku tersesat pada warnanya yang semakin berkilau. Aku berjalan di jalan itu, jalan yang kuyakini akan menemukan kamu, Diella. Tapi aku hanya menemukan jejakmu. Jejak seorang perempuan yang bermain biola di rumah itu. Sedang kamu, entah di mana tinggalnya di kota ini. Aku tak ingin senja merenggut perjalananku. Akan kucari lagi nanti saat senja dan malam tak lagi bertemu.

Jakarta, 291217

Cerpen ini adalah sekuel dari cerpen Perempuan yang Bermain Biola pada unggahan sebelumnya
Ilustrai oleh Tanti Amelia (mak Tanti).

Leave a Comment