Kenangan Singkat bersama Arswendo Atmowiloto
Kenangan Singkat bersama Arswendo Atmowiloto
Mengutip salah satu perkataan Pramoedya Ananta Toer, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Barangkali ini bisa dijadikan salah satu dorongan bagi saya (terutama) agar selalu giat untuk menulis apa saja yang bermamfaat.
Arswendo merupakan salah seorang yang melakukan itu. Ia menulis dan terus menulis hingga akhir hayatnya. Siapa yang tidak kenal dengan Keluarga Cemara yang lagunya kerap jadi candaan, saya rasa hampir semua orang mengenalnya. Saya pun demikian, mengenal Arswendo lewat karya-karyanya yang saya baca.
Setelah membaca karya-karya seorang yang begitu dikenal, rasanya tidak lengkap jika belum bertemu langsung dengan penulisnya. Itu pikiran dan perasaan saya setiap membaca karya seseorang, kecuali penulisnya sudah tiada.
Saya pun selalu berusaha bertemu dengan orang-orang yang karya-karyanya telah saya baca, dan sedapat mungkin berbincang sebentar dan tak lupa foto bersama. Salah seorang sastrawan yang karya-karyanya saya kagumi adalah Arswendo Atmowiloto yang beberapa hari lalu telah meninggalkan karya-karyanya.
Beberapa tahun lalu, komunitas yang saya ikut bergabung di dalamnya, yaitu Komunitas Ranggon Sastra, Jakarta mengundangnya menjadi salah satu pembedah buku kumpulan puisi dan cerpen terbitan Pustaka Ranggon di Jakarta.
Sebelum masuk ke ruangan, saya sambut Arswendo Atmowiloto di parkiran dan saya ajak mengobrol sebentar sebelum naik panggung. Saya ceritakan bahwa saya telah membaca beberapa karyanya, termasuk Senopati Pamungkas yang begitu tebal itu.
Setelah acara selesai, saya sambut dan saya temani hingga ke parkiran. Sembari mengantarnya, saya katakan bahwa salah satu puisi yang dibahas dan dikomentari oleh dia adalah puisi saya berjudul Ibuku Malaikat di dalam buku kumpulan puisi Labirin Warna yang dibedah waktu itu.
Sebelum ia pamit pulang, saya meminta dan mengajak foto bersama sebagai kenang-kenangan pada saya. Foto itu saya simpan seperti saya menyimpan kata-kata di dalam karya-karyanya yang selalu membuat saya ingin membacanya.
Kini, Arswendo Atmowiloto telah pergi tapi tidak pergi. Ia hanya menuntaskan janji untuk mengantarkan karya-karyanya pada Sang Ilahi. Karya-karya yang ia tinggalkan untuk kami, kita di sini.
Terima kasih Arswendo, karyamu akan selalu kami baca dan kami cintai. Sebab, kata Pram, “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”