Gunung dan Siwalan
(Tulisan ini dimuat harian Kompas pada rubrik Klasika edisi Rabu, 13 Juli 2016 dalam rangka Berbagi Cerita Lebaran lewat Instagram)
Pulang kampung bukan sekadar melepas rindu yang senantiasa menjadi bumbu pada saat merantau. Kampung halaman selalu menjadi akar kenangan yang beranak-pinak dan tidak pernah habis untuk dijadikan sebuah cerita pada setiap orang meskipun kata-kata sering menyangkal karena lelah menjadi bagian ceritanya. Salah satunya adalah kampung halamanku. Sebuah kampung yang begitu eksotis, manis dan selalu menjadi rahim kata pada setiap tulisanku.
Salah satu yang menjadi pelampiasan rindu adalah buah dari pohon siwalan (lontar). Sejak kecil pohon ini selalu menjadi tempat menuntaskan peluh ketika pulang dari sekolah. Buahnya yang manis dan legit menjadi mekanan yang selalu disukai apalagi pada saat musim kemarau. Aku dan teman-teman membagi tugas setiap tiba di lokasi tumbuhnya pohon tersebut. Ada yang bertugas memanjat, mengumpulkan, mengupas, dan mengumpulkan bijinya yang legit. Tidak hanya itu, kami tidak lupa membawa sebagian buah yang telah dikupas untuk diberikan pada orang tua dan tetangga.
Buah ini sungguh nikmat ketika disajikan dengan susu. Waktu kami masih sekolah belum ada es batu, sekarang rasa buah ini semakin bertambah nikmat dan lezat karena ditambah es batu selain susu.
Setiap pulang kampung aku selalu menyempatkan untuk menikmati buah siwalan ini meski yang memanjat bukan generasi kami, tapi adik-adik kami. Setiap lebaran aku selalu mengunjungi lokasi tumbuhnya pepohonan siwalan yang menjadi kenangan masa kacil kami. Betapa, tidak hanya pepohonan yang mengajakku membuka lembaran masa kecil yang penuh keindahan tersebut, tetapi gunung yang memesona juga menjadi tumpuan rindu akan masa kecilku, masa kecil kami.
Waru Timur, Pamekasan, 090716